top of page

Sejarah Perjalanan dan Permasalahan Gula di Indonesia (1930-2020)

Abstrak

Tulisan ini memuat sejarah panjang Indonesia dengan industri gula tebu yang dimulai dari awal abad 20 ketika Hindia Belanda menjadi salah satu eksportir gula terbesar dunia. Hal ini diawali dari keberhasilan percobaan VOC terhadap upaya penanaman tanaman tebu, tembakau dan kopi di wilayah Jawa pasca penguasaan tanah pasca perang Jawa (Diponegoro). Produksi tebu yang masif juga terjadi akibat adanya kelebihan produksi rempah-rempah, sehingga dilakukan pemusnahan terhadap tanaman rempah, selain itu gula juga menjadi komoditi primadona baru dalam dunia dagang Eropa. Pada 1870 saat UU agraria disahkan, banyak perusahaan swasta menyewa tanah dan menyebabkan investasi menyebar hingga ke Sumatera, ditambah dengan adanya penelitian dan publikasi dari Dr. IHF Sollewijn Gelpke (inspektur Jawatan Budidaya Tebu dan Padi pemerintah kolonial). Namun kejayaan ini tak berlangsung lama, situasi berubah ketika melewati pertengahan abad 20 higga abad 21 khususnya ketika masa awal orde baru yakni kisaran tahun 1967. Indonesia berbalik menjadi importir terbesar akan komoditi gula, bahkan kebutuhan gula nasional mengalami defisit yang cukup besar karena tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan nasional. Penelitian ini mencoba untuk menguak pahitnya sejarah industri gula yang terjadi pada masa pemerintah kolonial hingga tahun 2020. Penelitian ini juga akan berusaha menjawab hal apa yang menjadi sebab Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan gula domestik. Dengan menggunakan metode penelitian sejarah, maka akan ditemukan penjelasan yang jelas mengenai fakta pahit industri gula Indonesia, baik dalam kata maupun data angka. Sehingga akhirnya dapat diketahui bahwa permasalahan defisit gula Indonesia membutuhkan dua kebijakan, yakni kebijakan proteksi, pembenahan sistem lisensi, dan promosi gula. Adapun hasil penelitian yang diharapkan adalah indikasi sejarah kebijakan terhadap produksi gula yang kemudian mempengaruhi tingkat produktivitas gula. Dengan penelitian ini pula diharapkan dapat membantu riset - riset di masa depan mengenai produktivitas maupun produksi gula di Indonesia, sehingga dapat berguna dalam bidang kesejarahan, ekonomi, maupun bidang agraria.

Kata Kunci: Gula, Tebu, Kolonial, Orde baru, 2020, Produktivitas


Pendahuluan

Gula adalah komoditas pokok yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Kondisi iklim di Indonesia yang tropis dan disinari sinar matahari sepanjang tahun sangat cocok dengan perkebunan tebu, maka sudah seharusnya Indonesia memiliki keunggulan dalam produksi gula dari tebu. Sejarah industri gula di Indonesia dimulai jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, namun tidak juga dekat dengan revolusi Industri yang terjadi di Inggris. Industri mulai mengepulkan asap setelah penghapusan kebijakan cultuurstelsel (tanam paksa), atau singkatnya dengan naiknya liberal di parlemen Belanda pada 1870an. Kemunculan sistem politik liberal kemudian memungkinkan sistem ekonomi kapitalis yang mengakui hak milik individu termasuk modal asing, hal ini kemudian tentu saja memberi peluang kepada pemilik modal swasta untuk mendirikan usaha di Indonesia melalui politik liberal atau politik pintu terbuka. Gula dipilih sebagai hasil produksi karena gula adalah komoditas ekspor yang menjanjikan di pasar internasional, tanah Indonesia yang subur, dan tenaga kerja di Hindia Belanda yang melimpah. Akhirnya banyak pabrik-pabrik gula yang didirikan dan mulai menjamur khususnya di daerah Jawa. Namun keadaan hari ini sangat berbeda dengan industri gula di Indonesia seabad yang lalu. Dikutip dari laman kompas, per Januari 2022, Indonesia mengalami defisit kebutuhan gula nasional sebesar 3,8 juta ton. Hal ini terjadi karena produksi gula di Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan gula yang mencapai 6 juta ton per tahun. Tidak hanya itu, pertumbuhan kebutuhan gula di Indonesia kemungkinan akan terus meningkat sekitar 5-7 persen per- tahunnya sebagai akibat dari pertambahan penduduk dan pertumbuhan industri makanan yang memicu pertumbuhan kebutuhan gula nasional, bahkan pada 2030 mendatang kebutuhan gula diproyeksi akan menyentuh angka 9,81 juta ton per tahun (Karunia, 2022). Maka untuk menutupi kekurangan kebutuhan nasional akan komoditas gula, pemerintah melakukan impor, karena Berdasarkan Undang-undang (UU) Pangan No. 18/2012 terdapat enam kriteria suatu komoditas dianggap sebagai bahan pangan pokok yaitu antara lain: pangsa pengeluaran dalam pengeluaran pangan rumah tangga, kontribusi terhadap karbohidrat, konsumsi terhadap protein, frekuensi konsumsi, kontribusi terhadap vitamin dan mineral, serta yang terakhir adalah pangsa produksi domestik terhadap konsumsi (JDIH BPK RI, 2012). Adapun terkait pilihan impor yang ditempuh, menurut UU Cipta Kerja Pasal 30 ayat 1-3, bahwa (1) kecukupan kebutuhan konsumsi dan atau cadangan pangan Pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan impor dengan tetap melindungi kepentingan Petani. (2) Impor komoditas Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan instrumen perdagangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Kecukupan kebutuhan konsumsi dan atau cadangan pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat (Marpaung, 2011). Hal ini berbanding terbalik dengan fakta bahwa Indonesia merupakan negara eksportir gula terbesar ketiga pada 1930-1940an di bawah pemerintahan kolonialisme. Namun sayang sekali semenjak 1967, Indonesia berubah menjadi negara pengimpor gula terpenting di dunia setelah Rusia. Bahkan nilai impor gula Indonesia menjadi yang terbesar mengungguli China dan Amerika Serikat. Pada akhirnya tulisan ini akan lebih jauh membahas perbandingan pada tahun kejayaan industri gula pada 1930 dengan defisit gula yang terjadi menahun di Indonesia, serta berusaha menjawab alasan mengapa hal tersebut bisa terjadi dan bagaimana seharusnya hal ini dapat diselesaikan.


Pembahasan

Gula sendiri dapat dibagi menjadi gula alami dan gula buatan (pemanis buatan). Gula pasir atau sukrosa, idapatkan dari tebu dan bit gula, tebu sendiri untuk tumbuh memerlukan tempat dengan iklim panas sampai sedang dan memerlukan banyak air. Kemudian baik tebu dan bit gula menghasilkan berbagai macam jenis gula seperti gula pasir, gula batu, gula kasar, gula coklat (brown sugar). Dalam pengolahannya, pabrik gula sendiei terdiri atas beberapa tahap yakni penggilingan, penguapan, stasiun masakan, stasiun puteran, dan stasiun penyelesaian, singkatnya dapat dilihat pada bagan berikut;


Melihat kondisi tanah Hindia Belanda dan permintaan internasional yang menjanjikan, industri gula nampak sangat menguntungkan. Namun keuntungan tersebut bukanlah sepenuhnya keuntungan bagi masyarakat Hindia Belanda. Kebangkitan industri gula di Pulau Jawa dimulai dari berhasilnya pihak Belanda menghasilkan tebu yang tahan hama. Disusul dengan peningkatan produksi serta perluasan wilayah yang ditanami tebu. Menurut Ricklefs (2005:271), pada tahun 1885, produksi gula dari Jawa berjumlah 380.400 metrik ton dan hanya sedikit di bawah 400.000 metrik ton pada tahun 1890. Tapi ia meningkat hingga 581.600 metrik ton pada tahun 1895 dan 744.300 metrik ton pada tahun 1900. Industri ini juga meningkat labanya dengan memotong upah dan juga harga sewa tanah kepada para petani. Dengan kata lain, industri gula meningkat, namun para petani tetap nestapa. Dikutip dari laman Historia.id, Di masa kolonial Belanda, selain sewa tanah yang rendah, petani dipaksa tak menanam padi dan menggantinya dengan tebu. Sebagai bentuk protes, petani membakar lahan-lahan tebu. Perluasan areal perkebunan tebu mengurangi areal persawahan dan produksi padi. Salah satu dampaknya harga beras melambung dan tak terjangkau rakyat. Bahkan ketika kelaparan sudah nyata di Jawa, pemerintah menolak usulan untuk mengurangi separuh areal tebu. Setelah makin meluasnya wilayah kekuasaan Belanda pasca perang Diponegoro (perang Jawa) dan kelebihan produksi rempah sebagai akibat dari pemberdayaan rempah oleh Prancis, maka mendorong gula sebagai komoditi ekspor bermula dengan melihat keberhasilan percobaan VOC sebelumnya dalam percobaan penanaman tanaman tebu, tembakau, dan kopi di Jawa. Peristiwa ini ditandai dengan adanya politik pintu terbuka pada 1870 yang menghapus cultuurstelsel ditambah dengan diberlakukannya Suiker wet dan Agrarische wet yang banyak menarik modal asing untuk menanam modalnya di Hindia Belanda, saat itu salah satu bidang yang paling menarik adalah industri gula, hal ini karena gula menjadi primadona baru dalam dunia dagang Eropa. Perjalanan tebu sendiri berlangsung dari India ke Persia, sepanjang Mediterania ke pulau-pulau dekat pantai Afrika dan kemudian Amerika, sebelum bergeser kembali ke seluruh dunia dan sampai ke Indonesia. Sedangkan produksi gula sendiri bermula di India ketika tebu mulai diperas. Barulah pada pertengahan 1800-an, Belanda mulai membangun industri gula besar di Jawa dengan mengeksploitasi penduduk asli, saat itu mereka diharuskan menanam tebu, mengirimkannya ke pabrik, dan kemudian bekerja di pabrik-pabrik Belanda di Jawa. Terdapat 94 pabrik Belanda bertenaga air, yang mengolah tebu mentah menjadi gula rafinasi. Jutaan orang bekerja pada sektor ini dan mengakibatkan Jawa menjadi penyumbang sepertiga dari pendapatan pemerintah Belanda dan 4 persen dari PDB Belanda atau dengan kata lain, sangat menguntungkan bagi Belanda. Pada paruh berikutnya yakni 1870 ketika UU agraria disahkan, banyak perusahaan swasta menyewa tanah dan menyebabkan investasi menyebar hingga ke Sumatera, namun bukannya menguntungkan para pekerja paksa, kebijakan ini semakin memperburuk kehidupan dan memungkinkan terjadinya perbudakan yang lebih keji. Pada 1880, Dr. IHF Sollewijn Gelpke seorang inspektur Jawatan Budidaya Tebu dan Padi pemerintah kolonial memulai penelitian dan publikasi ilmiah terkait perkebunan tebu untuk mendongkrak industri gula Hindia Belanda. Ia membandingkan kondisi pertanian Jawa dan Italia, ia butuh waktu sekitar 50 tahun untuk melihat dampak penelitiannya, dan akhirnya pada 1930an jumlah pabrik gula di Jawa mencapai 179 pabrik dan berhasil menjadi salah satu eksportir gula terbesar.

Meskipun sempat berjaya, nyatanya industri gula di bawah pemerintah koloni juga pernah mengalami kesuraman dan meredup akibat great depression atau melaise yang melanda dunia. Saat itu harga komoditas perdagangan pasar dunia merosot, Menurut penelitian Suhartono (1994) mengungkapkan bahwa dari 178 pabrik gula yang ada pada tahun 1928, menyusut menjadi 50 buah pada tahun 1934 (Wijaya, 2019). Penurunan ini juga terjadi karena kejatuhan harga gula dan kopi mentah saat great depression 1929 mulai tergeser dengan kebutuhan komoditas lain yakni tembakau, karet, dan minyak kelapa. Setelah meredup, industri gula Hindia Belanda yang awalnya termasuk dalam jajaran kuat pasar bebas (karena efisiensi penanaman dan upah pekerja yang rendah) tidak dapat kembali bangkit. Ketika terjadi perang dunia kedua, Hindia Belanda ikut tersingkir karena tidak mampu bersaing dengan industri gula yang juga saat itu telah berkembang di Barat. Keadaan ini terus berlanjut hingga masa revolusi fisik 1948-1949 yang menghancurkan industri gula. Hal ini makin diperparah dengan minimnya perhatian pemerintah saat itu terhadap pemulihan industri gula, melihat masa itu Indonesia juga sedang mengalami masalah pembangunan dan kesulitan neraca pembayaran yang kronis. Masih di bawah pemerintahan yang sama, pada 1953 Indonesia menolak kuota 150.000 ton dari dewan gula internasional dan malah meminta kuota sebesar 450.000 ton dengan pertimbangan ekspor gula pra perang yang lebih dari satu juta ton. Tentunya permintaan Indonesia tersebut ditolak dan karenanya Indonesia gagal untuk bergabung dengan Perjanjian Gula Internasional yang akan berlaku sampai 1959. Namun indonesia tetap mendapat konsumennya saat itu, negara konsumen antara lain adalah Jepang, Burma, India, dan China pada rentang waktu 1954-1956. Namun berbanding terbalik dengan dunia internasional, konsumsi Indonesia akan gula saat itu cukup rendah karena harga yang tinggi akibat pajak.

Beralih pada awal masa pemerintahan selanjutnya (Soeharto), keadaan industri gula tidak menjadi lebih baik, hal ini salah satunya sebagai dampak dari fokus awal pemerintahan Soeharto untuk memberantas gerakan komunis, dengan slogan “no communist elements would be able to escape”. Saat itu tidak sedikit pekerja atau buruh dari pabrik gula menjadi korban, atau dalam kata lain dilakukan pembunuhan massal untuk menumpas komunis, tak terkecuali yang terjadi pada pabrik gula Ngadiredjo di sekitar sungai Brantas, saat itu juga terlihat mayat terduga komunis yang terbawa aliran sungai Brantas (Knight, 2012). Secara tidak langsung hal ini berpengaruh pada produksi gula, ditambah dengan makin terbatasnya penanaman tebu rakyat yang tidak ber-irigasi dan produktivitas rendah, berbeda dengan masa pemerintahan sebelumnya, konsumsi domestik gula di bawah Soeharto mulai meningkat, namun tidak diimbangi oleh kemampuan produksi, bahkan hasil tebu Indonesia hanya setengah dari yang dahulu dihasilkan masa kolonial, tentu ini tidak sebanding dengan konsumsi yang terus meningkat, karenanya pada 1967, Indonesia menjadi ketergantungan akan impor gula dan pada 1980 impor gula lebih besar empat kali lipat dari sebelumnya. Mirisnya meskipun banyak berganti kepemimpinan masalah akan impor gula ini masih belum tuntas dan Indonesia masih belum bisa secara mandiri memenuhi kebutuhan gulanya sendiri. Kenaikan dan kemerosotan produktivitas gula di Indonesia dapat dilihat pada gambar berikut;


Dari data tabel di atas terlihat penurunan produksi gula tebu di Indonesia. Apabila diperhatikan dengan seksama, produksi tebu (dalam ton) tahun 1930 dan 1940an memang tidak sebesar tahun 1996 atau 2010, tetapi apabila dilihat dari perbandingan luas lahan dan persentase rendemen, maka produksi pada 1930 dan 1940an dapat dikatakan lebih produktif, atau dengan kata lain, industri gula terus mengalami kemunduran yang kemudian menimbulkan masalah hingga hari ini, yakni defisit gula karena produksi tidak sebanding dengan konsumsi nasional. Ada banyak hal yang menyebabkan penurunan produktivitas gula Indonesia, seperti kurva pengalaman petani tebu, mengingat bahwa tebu termasuk tanaman yang yang manja dengan memerlukan kondisi tanah yang tepat, pengelolaan dan keterampilan pengelolaan yang baik dari SDM dan teknologi. Selain itu harga gula dari PG di Indonesia ditentukan oleh pemerintah atau BULOG, sehingga tidak muncul persaingan yang menyebabkan pabrik gula yang tidak efisien terus hidup. Misalpun terjadi kekurangan pasokan gula, yang berwenang melakukan ekspor adalah BULOG, namun BULOG tidak sendiri melainkan memberikan lisensi pada beberapa perusahaan swata. Namun hal ini tidak terlalu dilihat sebagai masalah dengan alsan bahwa pertumbuhan permintaan lebih cepat dibanding pertumbuhan pembayaran. Tetapi sebenarnya ini akan menjadi permasalahan apabila pihak swasta yang diberi lisensi mengimpor gula guna mengambil keuntungan, maka industri gula lokal akan mati karena suplai gula dunia jauh lebih besar dan membanjiri pasar lokal daripada penawaran gula lokal itu sendiri, karena gula impor merupakan musuh yang paling berbahaya bagi umur industri gula di indonesia, hal ini juga dibuktikan dengan terus meningkatnya angka impor gula. Karenanya, menurut Dr. Suyoto Hadisaputro menyebut bahwa Indonesia harus membayar sekitar Rp. 30 triliun pertahun untuk gula, maka Indonesia membutuhkan dua kebijakan, yakni proteksi dan promosi gula. Proteksi untuk menghindari ketergantungan impor, dan promosi dilakukan dengan perbaikan mendasar untuk memperbaiki efisiensi produktivitas industri gula.


Kesimpulan dan Penutup

Gula memiliki peranan penting baik dalam sejarah maupun dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat Indonesia hari ini. Banyak peranan industri gula lain yang juga tak seharusnya terlupakan seperti kemampuan perkebunan gula dan pabrik gula mampu menyerap banyak tenaga kerja. Gula juga telah memiliki sejarah panjang di tanah Nusantara, namun sayangnya cahaya kejayaan gula lokal semakin meredup seiring dorongan dari keadaan dunia internasional, keadaan politik Indonesia yang silih berganti kebijakan, penurunan produktivitas dan efisiensi pabrik, produksi gula dari kebun tebu yang ada tidak memenuhi syarat waktu dan mutu, banyaknya mesin yang tua yang tidak efektif atau kurangnya teknologi, dan kebijakan impor pemerintah. Meskipun swasembada gula bukanlah suatu hal yang mustahil, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa industri gula di Indonesia sudah lesu dengan tidak mampunya memenuhi kebutuhan nasional akan gula. Ada beberapa saran untuk meningkatkan produktivitas gula di Indonesia seperti menurut Dr. Suyoto Hadisaputro yang menyebut bahwa Indonesia membutuhkan dua kebijakan, yakni proteksi dan promosi gula. Proteksi untuk menghindari ketergantungan impor, dan promosi dilakukan dengan perbaikan mendasar untuk memperbaiki efisiensi produktivitas industri gula. Namun menurut penulis, di luar kedua hal tersebut diperlukan pula peningkatan teknologi dalam industri gula. Tak hanya itu, proteksi yang diberikan sebaiknya juga mempertimbangkan kebijakan impor gula oleh perusahaan swasta yang telah mengantongi lisensi, perlu ada review ulang agar selama produktivitas gula di Indonesia diperbaiki, selama itu pula komoditas gula impor tidak mengambil dan membanjiri pasar Indonesia yang pada akhirnya membuat gula lokal terpinggirkan dan tidak memiliki daya saing.


Daftar Pustaka

Agung DH. (2016). Pahit Industri Gula Indonesia. Tirto.id. Pahit Industri Gula Indonesia (tirto.id)

Budiono James. (1997). Prospek bisnis Industri gula di Indonesia setelah runtuhnya swasembada gula. Magister Manajemen. Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. https://lib.ui.ac.id/detail?id=20438204&lokasi=lokal

Fryer, D. W. (1957). Recovery of the Sugar Industry in Indonesia. Economic Geography, 33(2), 171–181. https://doi.org/10.2307/142442

Husin, H. (2016). Ujung Senja Pabrik-Pabrik Gula di Batavia Awal Abad ke-18. Sosio e-Kons, 8(2).

Hermawan, I. (2012) Analisis Penggunaan Luas Lahan Tebu dan Padi Terkait dengan Pencapaian Swasembada Gula di Indonesia. DPR.GO.ID ; Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik.

Joseph, K. T. (2008). Agricultural History of Peninsular Malaysia: Contributions from Indonesia. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, 81(1 (294)), 7–18. http://www.jstor.org/stable/41493709

Karunia, A, M. (2022). Kemenperin: Kebutuhan Gula Nasional Defisit 3,8 Juta Ton, Harus Dipenuhi dengan Impor. Kompas.com. Kemenperin: Kebutuhan Gula Nasional Defisit 3,8 Juta Ton, Harus Dipenuhi dengan Impor (kompas.com)

Knight, G. R. (2012). From “Merdeka!” to massacre: The politics of sugar in the early years of the Indonesian republic. Journal of Southeast Asian Studies, 43(3), 402–421.http://www.jstor.org/stable/23321094

Marpaung, Y. T. F., Hutagaol, P., Limbong, W. H., & Kusnadi, N. (2011). Perkembangan industri gula Indonesia dan urgensi swasembada gula nasional. IJAE (Jurnal Ilmu Ekonomi Pertanian Indonesia), 2(1), 1-14.

Mudzofar, A., & Bowo, P. A. (2020). Analisis Determinan Impor Gula Indonesia. Efficient: Indonesian Journal of Development Economics, 3(3), 880-893.

Pranata, G. (2022). Gula: dari Suguhan Manis sampai Industri Kolonial Belanda di Jawa. National Geographic Indonesia. Gula: dari Suguhan Manis sampai Industri Kolonial Belanda di Jawa - Semua Halaman - National Geographic (grid.id)

Ridhoi, R. (2021). ADA YANG MANIS DI TIMUR NUSANTARA? KOSMOPOLITANISME TANAMAN TEBU DALAM HISTORIOGRAFI INDONESIA. Sejarah dan Budaya: Jurnal Sejarah, Budaya, dan Pengajarannya, 15(1), 164-182.

Riadi Fajar. (2018). Cara penguasa Genjot Produksi Gula. Historia.id. https://historia.id/politik/articles/cara-penguasa-genjot-produksi-gula-P0o5g/page/1

Sucahyo, N. (2021). Industri Gula Indonesia Tak Semanis di Era Kolonial Belanda. VOA Indonesia. Industri Gula Indonesia Tak Semanis di Era Kolonial Belanda (voaindonesia.com

Surono Sulastri. (2006). Kebijakan swasembada gula di Indonesia. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. https://lib.ui.ac.id/detail?id=91276&lokasi=lokal

Surono Sulastri. (2008). Revitalisasi industri gula di tengah lesunya perdagangan gula. UI-Press, 2008. https://lib.ui.ac.id/detail?id=20437083&lokasi=lokal

Vandenbosch, A. (1964). Power Balance in Indonesia. Current History, 46(270), 95–100. http://www.jstor.org/stable/45313800

Wahyunindyawati, W., & Sari, D. (2017). Mengapa Indonesia Impor Gula Berkepanjangan (Why Indonesia Imports Sugar Continuously). Available at SSRN 3074081.

Wijaya, C, I. (2019). Tak Hanya ‘Dicicipi’ Belanda, Ini 5 Fakta Industri Gula Era Kolonial. IDN TIMES. Tak Hanya 'Dicicipi' Belanda, Ini 5 Fakta Industri Gula Era Kolonial (idntimes.com)


4 views0 comments

Comentarios


bottom of page